Saturday, March 22, 2014

Teori Vygotsky

KELOMPOK III

Teori Vygotsky
Lev Vygotsky, atau yang kita kenal dengan Vygotsky adalah seorang ahli teori yang berasal dari Rusia. Vygotsky lahir pada tahun 1896 dan meninggal pada tahun 1934 dengan umur 37 tahun.
Asumsi Vygotsky
1. Keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisis dan diinterpretasikan secara developmental.
2. Kemampuan kognitif dimensi dnegan kata, bahasa, dan bentuk diskursus, yang berfungsi sebagai alat psikologis untuk membantu dan mentransformasikan aktivitas mental.
3. Kemampuan kognitif berasal dari relasi social dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural
Dengan ketiga asumsi ini, Vygotsky menyatakan hubungan antara pembelajaran dan perkembangan. Salah satu ide Vygotsky yang menghubungkan pembelajaran dan perkembangan adalah konsep ZPD (Zone of Proximal Development). ZPD adalah istilah yang diciptakan oleh Vygotsky untuk membedakan apa yang dapat dilakukan si anak seorang diri dan apa yang dapat dilakukan si anak dengan bantuan orang lain. Dalam konsep ZPD, terdapat 2 batas, yaitu batas bawah dan batas atas. Batas bawah adalah tingkat masalah atau hal yang dapat dilakukan oleh anak seorang diri, sedangkan batas atas adalah tingkat tugas atau tanggung jawab tambahan yang dapat diterima atau dilakukan oleh si anak dengan bantuan orang lain. Vygotsky menekankan bahwa pengaruh social adalah hal penting yang dapat mempengaruhi seorang anak yang berada dalam ZPD.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidak hanya anak-anak yang berada di ZPD. Setiap individu selalu berada di ZPD. Di dalam hidup, setiap individu tidak pernah berkembang, terutama jika dikaitkan dengan batas bawah dan batas bawah yang berada di dalam ZPD. Kehidupan seseorang tidak akan pernah terlepas dari kegiatan belajar.
1. Scaffolding
Scaffolding adalah teknik untuk mengubah level bantuan belajar. Seorang guru atau sesama murid yang lebih pandai mampu menyesuaikan jumlah bimbingan sesuai dengan kinerja murid. Mengubah level bantuan belajar memiliki arti yaitu, membedakan jumlah “pengajaran” ketika si anak mulai belajar dan ketika anak tersebut sudah hampir menguasai apa yang dipelajarinya.

2. Bahasa dan Pemikiran
Vygotsky percaya bahwa anak-anak menggunakan bahasa bukan hanya untuk komunikasi social, tapi juga untuk merencanakan dan memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri. Penggunaan bahasa ini dikenal dengan “inner speech” atau yang baisa kita kenal dengan suara hati/batin. Menurut Vygotsky, suara hati/batin ini tidak muncul begitu saja, tetapi juga mengalami perkembangan. Agar mampu menggunakan atau memiliki suara hati, seorang anak harus menggunakan bahasanya terlebih dahulu untuk berkomunikasi secara langusng dengan sekelilingnya. Ketika si anak sudah mampu berkomunikasi dengan lingkungannya dengan baik, maka si anak juga akan mampu memfokuskan diri pada pemikirannya sendiri dan terbentuklah “inner speech”. Biasanya seorang anak mulai mampu melakukan “inner speech” pada usia 3-7 tahun.

Pada postingan kali ini, saya akan menyampaikan  salah satu pengalaman saya yang berkaitan dengan scaffolding, bahasan dan pemikiran. Saya mengalaminya saya belajar untuk menyeberang. Ketika saya duduk di bangku TK, saya selalu pergi bersama orang tua saya. Saya tidak pernah terlepas dari mereka, termasuk ketika menyeberang. Pada awalnya saya tidak mengetahui bahwa menyeberang adalah suatu kegiatan yang harus dipelajari. Ketika saya menyeberangi jalan raya bersama orang tua saya, saya merasa bahwa itu adalah suatu hal yang biasa dan tidak terlalu menjadi masalah ada atau tidak adanya orang tua saya di sisi saya. Tapi suatu ketika, orang tua saya tidak dapat menjemput saya seperti biasanya. Rumah saya berseberangan dengan sekolah saya. Ketika saya mencoba untuk menyeberang seorang diri saya mencoba untuk berkonsentrasi pada jalanan di depan saya dan di dalam hati saya mengatakan pada diri saya “tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja”. Pada saat itu, suara hati saya tidak cukup untuk meyakinkan saya dan saya menjadi ragu kemudia takut. Pada akhirnya, saya meminta bantuan guru saya untuk menyeberangkan saya. Keesokan harinya, tepatnya hari minggu ketika jalan raya tidak begitu ramai, orang tua saya mengajak saya untuk jalan pagi. Di tengah jalan, orang tua saya mengatakan bahwa sebaiknya saya belajar untuk menyeberang sendiri. Ketika saya mulai menyeberang sendiri, rasa ragu dan takut saya dating kembali. Tapi pada saat itu, saya menyadari ada orang tua saya yang melindungi dan dan menenangkan saya, kemudian saya mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya pasti mampu,. Awalnya saya menyeberang jalan raya tersebut berkali-kali dengan tuntunan orang tua saya. Setelah 5-7 kali saya menyeberang bersama orang tua saya, orang tua saya mengatakan bahwa untuk yang ke-8 kali saya yang harus menuntun orang tua saya menyeberang. Awalnya saya tidak bisa, saya tetap ragu walaupun jalan raya terlihat tidak begitu ramai. Tapi setelah yang ke-4 kalinya saya mulai terbiasa. Karena melihat kemajuan saya, orang tua menyuruh saya melepaskan tangan mereka dan menyeberang sendiri. Orang tua saya tetap berada di belakang dan mengikuti saya, tapi saya tidak memegang tangan mereka lagi. Hal ini terus saya ulang hingga 3 kali sampai akhirnya saya mampu menyeberang sendiri. Akan tetapi, walalupun saat itu saya sudah mampu menyeberang sendiri, orang tua saya tetap berpesan jika ada orang dewasa yang bisa menyeberangkan saya, lebih baik saya meminta bantuan karena itu akan lebih aman. Sepanjangan proses pembelajaran tersebut, saya tidak hanya mendapatkan ketenangan dari dukungan orang tua saya, tapi juga dari dalam diri saya sendiri.

Dari contoh pengalaman saya, kita dapat melihat konsep scaffolding serta bahasa dan pemikiran. Dari yang pertama kali orang tua saya selalu membimbing saya ketika menyeberang hingga akhirnya melepaskan saya sendiri untuk menyeberang. Dari sini kita dapat melihat bahwa seorang anak yang tadinya memiliki batas atas yaitu ketidakmampuan untuk menyeberang, sekarang batas itu sudah berubah menjadi batas bawah yaitu si anak mampu menyeberang seorang diri. Konsep scaffolding yang mengubah level bantuan belajar terlihat pada cara orang tua ketika mengajari si anak. Jika orang tua dari anak tersebut selalu menuntunnya tanpa memberikan tantangan baru maka tidak akan terjadi proses pembelajaran pada si anak.
Selain itu, inner speech yang timbul ketika mengalami suatu hal baru. Dukungan terhadap diri sendiri mampu membuat seorang anak untuk merencanakan serta memonitor perilaku dengan caranya sendiri. Peran orang tua dalam proses pembelajaran adalah hal penting. Tapi, proses ini tetap melibatkan “inner sppech” yang berperan aktif untuk meyakinkan diri sendiri dan akhirnya mencapai kesuksesan.

No comments:

Post a Comment